Rumah mewah di tengah proyek jalan tol Pejagan-Pemalang seksi III, milik Sanawi, seorang juragan Warteg di Desa Sidakaton Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal memulai babak baru.
Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 10 Mei 2017 telah memutus kasasi yang menguatkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Slawi. Pengajuan permohonan gugatan terlambat 14 hari dari perhitungan pembayaran pembebasan lahan, sebab itu pengajuan kasasi tersebut ditolak.
Sularto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom) mengatakan terkait keputusan MA menolak kasasi pihak Samawi, maka dengan keputusan itu menguatkan Putusan PN Slawi yang juga menolak gugatan Sanawi. "Dengan begitu langkah selanjutnya tinggal dibongkar rumah Gedongan itu," ujarnya belum lama ini.
Pihaknya akan memberitahu kepada pemilik rumah agar mau menerima ganti rugi sesuai perhitungan appraisal senilai Rp 1,5 miliar. "Jika tidak kami akan melakukan konsinyasi (menitipkan uang di Pengadilan) untuk kemudian dieksekusi dengan kata lain rumah Samawi akan dibongkar paksa," ujarnya.
Rokhmantono, kuasa hukum Sanawi membenarkan perihal keputusan kasasi MA yang menguatkan Putusan PN Slawi. "Iya MA sudah mengeluarkan Putusan dan menguatkan keputusan PN Slawi, pertimbangan MA sama dengan pertimbangan hakim PN Slawi yakni gugatan terlambat diajukan," kata Rokhmantono kemarin.
Menurutnya ada perbedaan pemahaman mendasar baik hakim PN Slawi maupun hakim MA mengenai UU Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurutnya di PN Slawi putusan sudah sesuai ketentuan UU yaitu pemeriksaan dilakukan cepat satu setengah bulan, sedangkan di MA proses kasasinya sampai tujuh bulan.
Terkait langkah setelah adanya kasasi oleh MA, Rokhmantono menyatakan kliennya masih menunggu surat resmi dari pemerintah bahkan dimungkinkan akan ada upaya hukum baru. "Ada dua pilihan yang akan kami ambil, pertama menerima putusan MA tersebut dan atau menerima uang ganti rugi dari pemerintah senilai Rp 1,5 milar. Kedua kami akan mengajukan gugatan baru, yaitu gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas langkah PPT dan PPKom yang tidak sesuai UU ketika melakukan penilaian terhadap rumah Sanawi. Namun kami masih menghitung kepentingan klien kami," jelasnya.
Terkait akan dilakukan konsinyasi untuk kemudian dieksekusi dan dibongkar paksa rumah kliennya, Rokhmantono memberikan tanggapan. "Kami sudah menanyakan kepada bagian perdata dan tidak ada konsinyasi sampai akhirnya kami melakukan gugatan. Tetapi selama pemerintah belum memberikan surat secara resmi dan diterima oleh klien kami, berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2012 maka pemerintah tidak berhak membongkar rumah Sanawi," pungkasnya.
Seperti diketahui, rumah dengan bangunan bertingkat dua tersebut masih berdiri kokoh di tengah pembangunan jalan tol. Padahal rumah disekitarnya sudah rata dengan tanah. Rumah masih ditinggali keluarga Sanawi meski alat berat sudah melakukan pembangunan. Gugatan diajukan karena pemilik rumah tidak mau menerima ganti rugi dari proyek tol sebesar Rp1,5 miliar. Pemilik rumah menilai harga rumah yang dihuni sejak 1965 terseb ut mencapai Rp 2,8 miliar.
(PU) Laporan: Agus Slamet |