Yang coba ditunjukkan oleh ribuan lilin di berbagai penjuru dunia, tidak hanya di Nusantara, sesungguhnya bukanlah benderang, melainkan kegelapan. Ya, memang benar bahwa lautan manusia mendongakkan berbatang-batang lilin ke angkasa dan pelita pun berbinar-binar memancar. Tapi, lihatlah ke sekelilingnya: remang, jika bukan gulita. Cahaya selalu berhasil menegaskan kegelapan.
Jika suatu ketika Albert Einstein berani mengatakan bahwa gelap sesungguhnya tiada, karena sesungguhnya itu adalah ketiadaan cahaya, ia jujur. Dan, kejujuran melampaui kebenaran. Sebab, meski yang disampaikan adalah kesalahan, perkataan akan melampaui kebenaran jika berisi kejujuran. Jujur itu apa adanya, entah benar entah salah; benar dikatakan benar dan salah dikatakan salah.
Lalu, bukankah itu berarti sesungguhnya kesalahan pun tiada? Sebab, yang ada adalah ketiadaan kebenaran. Bukankah berarti kezaliman seharusnya pun tiada? Ya, yang sesungguhnya ada adalah ketiadaan keadilan. Dusta itu tidak ada, yang ada adalah ketiadaan kejujuran. Keburukan itu tiada. Yang terjadi di sana-sini adalah ketiadaan kebaikan, dan hari-hari ini semua itu semakin merajalela.
Lihatlah, betapa semakin banyak yang telah kita tiadakan. Kita meniadakan cahaya, sehingga kegelapan mengada. Kita meniadakan kebenaran, sehingga kesalahan mengada. Kita meniadakan kejujuran, sehingga dusta mengada. Kita meniadakan keadilan, sehingga kezaliman mengada. Kita meniadakan kebaikan, sehingga keburukan mengada. Bahkan seluruhnya te rus menyebar. Meluas.
Dalam khazanah Tasawuf, ketiadaan menjadi pokok bahasan pelik yang harus dipelajari sangat perlahan untuk mudah dimengerti. Meski demikian, hasilnya toh tetap saja susah dipahami. Namun, setidaknya jika pun ketiadaan itu ada, maka ada tiga macam ketiadaan. Yaitu, ketiadaan yang mengada, ketiadaan yang mengada-ada, dan ketiadaan yang apa adanya. Mana yang paling menonjol?
Keadaan kini sudah melampaui ketiadaan yang mengada. Kegelapan, kesalahan, kebohongan, kezaliman, dan keburukan telah bermasa-masa mengada di sini. Lebih buruk dari itu, kita telah memasuki zaman ketika kegelapan, kesalahan, kebohongan, kezaliman, dan keburukan mengada-ada. Bahkan, semakin mengada-ada. Bagaimana bisa kezaliman mengaku sebagai keadilan, misalnya?
Jangan sampai kita mengalami masa ketiadaan yang apa adanya. Jangan sampai kita merasa bahwa kegelapan memang yang seharusnya ada, bukan cahaya. Jangan sampai kita merasa bahwa kesalahan yang seharusnya ada, bukan kebenaran. Jangan sampai kita merasa kebohongan yang seharusnya ada, bukan kejujuran. Jangan sampai kita merasa bahwa kebohongan yang seharusnya ada, bukan kejujuran.
Jangan sampai kita merasa keburukan yang seharusnya ada, bukan kebaikan. Jangan sampai kita merasa ya memang begitulah adanya, apa adanya. Jangan! Na'udzu billahi min dzalik. Jika itu yang terjadi, kita akan benar-benar memasuki zaman kegelapan --hingga tak ada lagi yang merasa betapa cahaya pernah ada di antara kita. Tak ada yang rindu pada terang karena merasa memang dilahirkan, tumbuh, dan besar dalam gelap.
Ki ta sendiri yang mengadakan gelap, kita sendiri yang mengada-adakan kegelapan, maka kita sendiri pula yang memutuskan akan seperti ini terus --bersepakat dalam gelap dan dengan kegelapan-- atau mulai kita nyalakan pelita. Tak perlu lagi kita menyalahkan kegelapan karena yang kini lebih penting adalah membenarkan pelita dinyalakan. Atas api yang telah disulut, kita pula penentunya: untuk mengada-adakan asap atau memantik kesadaran?
Sekali lagi, yang coba ditunjukkan oleh ribuan lilin di berbagai penjuru dunia itu sesungguhnya bukanlah benderang, melainkan kegelapan. Bahwa jika masih ada gelap di sana, maka mari bawa lilin ke sana. Bahwa jika masih ada gelap di sini, maka mari bawa lilin ke sini. Jika lilin tak cukup menerangi, nyalakan obor. Nyalakan lampu. Nyalakan bintang. Nyalakan rembulan. Nyalakan matahari!
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu) |