Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyindir Presiden Joko Widodo yang terkesan lamban merespon desakan untuk merevisi pasal 156 dan pasal 156 a tentang penistaan agama dalam UU KUHP. Fahri menyayangkan respon lamban yang ditunjukkan pihak istana padahal wacana pengubahan pasal penistaan agama adalah masalah krusial.
"Sekarang ada isu penistaan agama pasal mau dicabut, istana diem aja, istana dulu ngomong. Yang Presiden Jokowi, bukan saya, kok kita yang ngomong duluan, dia enggak ngomong, emang lemot nih istana, payah. Enggak ngomong soal begini," kata Fahri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/5).
Selama wacana revisi pasal penistaan agama ini bergulir, kata dia, DPR selalu menjadi lembaga yang aktif memberikan pandangan. Sementara, pihak Istana sama sekali belum memberikan opininya.
"Tiap hari kan kita tangkap pandangan dari pengamat, akademisi atau ormas lalu tanya ke DPR, DPR tanggapi terus, Istana kayaknya enggak pernah berpendapat. Padahal ini masalah penting, krusial," tegasnya.
Fahri membandingkan respon pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat dalam menanggapi segala isu yang berkembang. Staf khusus media di Gedung Putih, lanjut Fahri, sangat aktif berkomunikasi dengan wartawan membahas isu-isu terkini.
Fahri juga menyindir aksi lilin yang dilakukan di sejumlah daerah te rhadap dukungan kepada Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok). Menurut Fahri, Istana hanya diam saja.
"Di Gedung putih ada Press Secretary khusus, tiap hari 3-4 kali ketemu wartawan, baru nanti orang datang ke parlemen, baru ditanggapi pernyataan Istana. Ini enggak, semua peristiwa istana diem aja, termasuk orang masuk bandara, kacau ini lilin-lilinan ini, orang mulai bentrok, istana diem saja. Istana kerjanya apa?" pungkasnya.
Sebelumnya, desakan untuk merevisi pasal penistaan agama mulai bermunculan, salah satunya datang dari Setara Intitute. Setara Institut mencatat terdapat 97 kasus hukum atas tuduhan penodaan agama yang terjadi selama periode 1965-2017.
Dari 97 kasus yang terjadi, 21 diantaranya diselesaikan di luar persidangan. Si sanya, 76 diselesaikan di meja hijau. Ada 127 orang yang sudah diadili atau divonis dengan dalih menodai agama.
Setara Institut menilai dalil penodaan agama mengandung tingkat subjektivitas dan elastisitas yang sangat tinggi. Karenanya bertentangan dengan asas legalitas dalam konstruksi hukum positif.
"Sialnya pasal ini sudah digunakan untuk menghakimi yang di level atas" ujar peneliti Setara Institute Halili di Bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (11/5).
Menurutnya, bila DPR tidak mau mencabut UU tersebut maka pemerintah harus mengambil peran besar untuk mengkaji ulang pasal ini. Presiden Joko Widodo, Jaksa Agung, Ketua MA harus duduk bersama dengan menggunakan perspektif yang sama bahwa ini persoalan besar. Tujuannya agar t idak ada lagi korban dengan dalih penodaan agama. [rnd] |